Rabu, 02 Mei 2012

Landasan Sosio Kultural pada Subak
 ILUSTRASI
DENPASAR--Guru Besar Universitas Udayana I Wayan Windia mengemukakan, sistem pertanian tradisional "subak" yang diterapkan petani Bali secara turun temurun berlandaskan kepada kondisi sosiokultural setempat.
"Selain mengatur tata pengelolaan air irigasi secara adil dan merata juga mengandung unsur upaya melestarikan seni budaya Bali yang terkandung dalam aktivitas mulai dari penyiapkan lahan hingga memetik hasil panen," kata Profesor Windia yang juga Ketua Grup Riset Sistem Subak Unud itu di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan, pengelolaan subak memiliki keistimewaan karena berazaskan konsep "Tri Hita Karana" yakni hubungan yang serasi dan harmonis sesama petani anggota subak, petani dengan lingkungannya, dan petani dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Peran dan fungsi subak yang ganda itu, katanya, menjadikan Bali memiliki kekayaan alam, pemandangan yang indah, dan kehidupan religius yang kental, di samping keberadaan desa adat (pekraman) yang kokoh dan eksis.
Semua itu, katanya, mampu membentuk karakteristik sosial budaya masyarakat Bali yang khas sehingga mampu menjadi salah satu daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri.
Namun, katanya, di balik perkembangan pesat sektor pariwisata yang mampu menjanjikan peningkatan taraf hidup masyarakat setempat, menjadikan minat generasi muda menggeluti sektor pertanian menurun.
Ia menjelaskan, pariwisata menjanjikan banyak kesempatan dibandingkan dengan pertanian.
Namun, katanya, di sisi lain hal itu membawa dampak negatif berupa lahan pertanian semakin menyempit akibat alih fungsi lahan untuk berbagai kepentingan pembangunan. Alih fungsi lahan pertanian setiap tahun, katanya, antara 750 hektare hingga 1.000 hektare.
Bahkan, katanya, beberapa subak di Kota Denpasar sirna. Subak di wilayah Kota Denpasar selama kurun waktu 10 tahun terakhir berkurang 50,35 persen. Ia menjelaskan, lahan sawah pertanian yang beririgasi secara teratur berkurang dari 5.753,43 hektare pada 1993 menjadi 2.856 hektare pada 2003. "Dan sekarang diperkirakan semakin menyempit lagi," katanya.
Lahan pertanian yang beralih fungsi itu, katanya, ancaman dan tantangan terhadap eksistensi subak. "Akibat perkembangan pembangunan, khususnya dalam sektor pariwisata di Bali," kata Windia.