Rabu, 25 April 2012

Gambang Memiliki Ratusan Gending
Ilustrasi: I Nyoman Suarsana (kiri) dan I Nyoman Suwida berduet memainkan gangsa, bagian dari gamelan Bali, dalam pertunjukan gitaris I Wayan Balawan, dalam Other Minds Music Festival 2011, 4 Maret waktu setempat

DENPASAR--Gamelan gambang, salah satu instrumen musik tradisional Bali yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun memiliki ratusan gending (pupuh), namun sebagian besar tanpa disertai teks.
"Gending-gending gambang yang lebih populer dengan sekar alit (macepat) hingga kini masih lestari dalam kehidupan masyarakat Bali, namun keberadaannya semakin langka" kata seniman andal Bali, I Wayan Sinti MA (69) di Denpasar, Selasa.
Mantan dosen pada University of Washington School of Musik Amerika Serikat yang juga penulis buku Gambang, cikal bakal karawitan Bali itu menambahkan, pihaknya pernah mengadakan penelitian tentang gamelan gambang di bererapat tempat di daerah ini.
Penelitian itu dilakukan di pusat dokumentasi Kota Denpasar, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Desa Tenganan pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Geria Taman Sari Sanur, Kota Denpasar, Desa Tangkas, Klungkung, serta Kerobokan dan Banjar Sempidi Tengah Kabupaten Badung.
Selain itu juga melakukan kegiatan yang sama di Banjar Gunung Pende Tumbak Bayu, Kabupaten Badung dan Padang Mulia, Kabupaten Buleleng, Bali utara.
Sinti menjelaskan, hasil penelitian di berbagai tempat itu menunjukkan, kesenian kuno yang disakralkan itu telah ada sejak abad XI masa pemerintahan Prabu Erlangga, raja yang memerintah Bali dan Jawa Timur selama kurun waktu 1019-1042.
"Seni budaya seperti seni sastra, seni bangunan dan seni kerawitan pada masa pemerintahannya berkembang pesat," tutur Wayan Sinti.
Demikian pula pembangunan bidang kesusastraan seperti candi juga berlangsung dari masa ke masa, seperti adanya banyak bangunan candi yang kokoh hingga sekarang di Jawa Timur.
"Begitu eratnya hubungan Bali dengan Jawa Timur dari masa ke masa selama pemerintahan Prabu Erlangga, tidak tertutup kemungkinan seniman Bali diboyong ke Jatim untuk membangun candi dan mengembangkan jenis kesenian lainnya," ujar Wayan Sinti.
Hal itu dapat dibandingkan dengan pembangunan Pura Semeru Agung di kaki Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jatim menjelang abad ke-20.
Demikian pula pembangunan pura Gunung Salak di Bogor pada abad ke-21 yang secara umum keduanya diprakarsai seniman dari Bali, ujar Wayan Sinti.